Senin, 29 Maret 2010

CEMBURU

“Bagaimana kriteria istri yang baik, kang? “ tanyanya saat motor berjalan melambat karena di depan lampu merah terlihat menyala.
“Istri yang baik tentu saja istri yang mampu memelihara dan menjaga kehormatan diri dan suaminya. Istri yang baik adalah istri yang berusaha semaksimal mungkin membahagiakan suaminya, bukan saat ada dihadapannya saja melainkan juga saat suami tidak ada.
“Istri saya selain cantik, orangnya baik sekali kang dan tidak suka menyakiti perasaan orang lain. Sehingga saya takut keramahan dan kebaikannya disalahartikan oleh orang lain atau mungkin membuat laki-laki lain jatuh cinta kepadanya.” lanjutnya.
“Ya kamu tidak bisa menyalahkan orang lain karena dia menyukai atau mencintai istri mu. Toh kamu mau menikahi dia karena emang tertarik dan terpesona karena kebaikan dan kecantikannya, bukan? Yang penting istrimu memiliki pondasi keimanan yang kuat. Lemah kuatnya pondasi keimanan istri juga sangat dipengaruhi sikap dan bimbingan suami. Dan yang nggak kalah penting adalah komunikasi yang saling membahagiakan.”
“Maksud komunikasi yang membahagiakan itu apa kang?” Dia penasaran
“Komunikasi yang membahagiakan adalah komunikasi yang dilandasi saling percaya. Kamu percaya bahwa istrimu adalah istri terbaik yang selalu menjaga kehormatan dirinya sebagai seorang istri. Sehingga pikiranmu dan sikapmu tidak akan dihantui oleh perasaan negatif “
“Contoh perasaan negatif itu apa, kang?”
“Cemburu yang berlebihan. Kalau saat ini kamu dipengaruhi oleh cemburu berlebihan, kamu tidak akan pernah percaya seratus persen akan kesetiaan istrimu.”
“Ya itu dia kang. Emang saya suka cemburu. Jangan-jangan saat saya tinggalkan, dia ngobrol dengan orang lain. Terutama tetangga baru. Dia bujangan, selain wajahnya ganteng, kerjanya mapan, ramah dan terlihat suka sama istri saya”
“Kamu pernah Tanya istrimu tentang tetangga barumu itu?”
“Sempat kang. Tapi istri saya malah marah dan malah menangis sejadi-jadinya. Dia merasa saya sudah tidak mempercayai kesetiaannya.”
“Istrimu itu istri yang baik. Berilah kepercayaan sepenuh hatimu. Berikan cinta yang tulus. Kita boleh cemburu dan memang istri itu senang kalau kita cemburu, karena itu menandakan kita masih mencintainya dan keberadaannya sangat berarti bagi kita. Tapi jangan cemburu berlebihan karena akan dimanfaatkan oleh Setan untuk memecah belah dan mencerai beraikan jalinan cinta kasih yang telah kita bangun selama ini dengan istri. Kalau kita cemburu pada istri, bacalah ta’awudz biar setan tidak mengipasi menjadi bara yang membakar.”
“Selama ini emang saya jarang baca ta’awudz, pantas bawaannya pengen bertengkar atau marah kalau lagi cemburu. Trimakasih kang nasehatnya.”
Lampu hijau menyala, dan motor melaju agak cepat karena takut keburu merah lagi. “Brak!!” tiba-tiba motor menabrak mobil di depan.
“Mobil di depan kan majunya pelan, kenapa bisa kamu tabrak?”
“Itu kang tadi di pinggir ada perempuan cantik banget, pake rok mini lagi.. saya jadi lengah.”
“Bagaimana kamu bisa mempercayai kesetiaan istrimu, jika kamu sendiri dibelakangnya tidak bisa menjaga kepercayaan yang diberikannya”
“Astaghfirulloh, maafkan sayang aku telah menodai kepercayaanmu” gumamnya lirih. Jalanan yang macet terasa begitu sunyi. Anganku dan angannya ada dipelukan anak dan istri di rumah.

Jumat, 26 Maret 2010

JANGAN PERGI ANAKKU

Kisah ini fiktif belaka, tetapi mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi orang tua yang memiliki pola pikir sang Ayah dalam cerita ini. Cerita ini muncul begitu saja, ketika aku mendengar seorang temanku mengatakan suaminya kecewa ketika anak pertamanya adalah "perempuan".

“Tidakkk….Ayu…!” tiba-tiba wanita itu berteriak histeris dan pingsan.
Entah siapa yang baru saja menelpon dan apa yang ia dengar, sehingga ia tidak mampu menguasai kesadarannya.
Semua terjawab manakala ia tersadar dari pingsannya dan menghentikan tangisan dan ratapan memanggil anak perempuannya.
Ayu, anak paling gede wanita itu baru beberapa bulan lulus kuliah dan telah mulai bekerja sebagai karyawan sebuah bank ternama. Baru seminggu yang lalu rumah itu ramai dikunjungi orang untuk menghadiri acara syukuran keberhasilan anaknya itu. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ayu tertabrak mobil dan meninggal dunia. Gelap.. dunia yang benderang terasa gelap pekat. Sempit…dunia yang luas ini terasa begitu menghimpit. Hanya jeritan yang melengking yang memecah langit. “Ya Allah kenapa engkau ambil Ayu. Kenapa tidak aku saja yang sudah tua” sang Ayah tidak kalah merananya dari sang Ibu. “Ya Allah apa salahku?” jerit sang Ayah dan tiba-tiba saja ia tenggelam dalam gelap dan sunyi.
“Ayah, bangun!” suara Ayu terdengar begitu merdunya. Mata sang Ayah terbuka dan dilihatnya Ayu begitu cantik dan memancarkan cahaya. Ayu mengenakan gaun putih. Ia laksana bidadari.
“Ayu ? bukankah kamu tertabrak mobil?” Tanya sang Ayah kaget. Ada rasa tidak percaya sekaligus bahagia. Ia berharap berita itu bohong.
“Benar Ayah. Ayu memang tertabrak mobil dan Ayu telah meninggalkan dunia yang begitu ramai. Sekarang Ayah ada di alam Ayu yang baru” jawabnya begitu tenang.
“Kenapa Ayu tega meninggalkan Ayah” Tanya sang Ayah. Air matanya tak tertahan mengalir deras di kedua pipinya.
“Bukan Ayu yang tega meninggalkan Ayah, tetapi ini adalah kehendak Allah” jawabnya begitu tenang.
“Kenapa Allah menghendaki Ayu meninggalkan kami, nak?”
“Allah tidak berkehendak Ayu meninggalkan Ayah, tetapi Allah mengabulkan kehendak Ayah”
“Kehendak Ayah? Ayah mana yang tega menghendaki anaknya meninggal Nak?” sang Ayah kaget.
“Bukankah Ayah dulu berkehendak anak pertama ayah itu laki-laki? Bukankah Ayah begitu marah dan kesal ketika yang lahir adalah Ayu, anak perempuan?”
“Iya…, tapi setelah itu Ayah menerimamu sebagai anugerah-Nya dan Ayah bangga kepadamu Nak.”
“Benar Ayah. Tetapi Ayah telah lupa beristighfar dan memohon ampunan Allah karena kekufuran Ayah tersebut. Sehingga hal ini terjadi. Bukankah Allah telah menjelaskan bahwa barangkali kamu menyukai sesuatu tetapi itu akan merugikanmu dan barangkali kamu tidak menyukai sesuatu padahal itu baik bagimu. Ayah sekarang anakmu yang pertama adalah Ahmad, seorang laki-laki. Ayah izinkan Ayu pergi”
Ayu perlahan pergi meninggalkan sang Ayah yang menyesali dosa masa lalunya.
“Ayu…jangan pergi!!” teriak sang Ayah dan tersadar dari pingsannya.
“Sabar pak, tawakal pak” begitu orang-orang menasehati.

Rabu, 24 Maret 2010

CINTAILAH ORANG TUAMU, KARENA MEREKA LEBIH MENCINTAIMU

Sore itu, hari Kamis seorang Bapak datang menemui anaknya.
“Bapak ke sini mau minta tolong”
“Minta tolong apa pak?” Tanya sang anak. Wajahnya menunjukkan kecurigaan. Jangan-jangan Bapaknya itu mau pinjam uang. Sudah berulang kali Bapaknya itu meminjam uang, tetapi akhirnya harus dibebaskan karena tidak pernah membayarnya.
“Bapak harus menyelesaikan pekerjaan. Kalau pekerjaan Bapak selesai, majikan akan menyelesaikan pembayarannya. Nggak besar Cuma Rp. 50.000” kata sang Bapak penuh dengan harap. “Besok Sabtu Bapak kembalikan. Kamu harus percaya” lanjut sang Bapak meyakinkan.
“Ah Bapak ini kalau mo pinjam suka manis. Tapi saat harus membayar, suka susah. Pasti ini akal-akalan saja. Aku tidak percaya. Lagian Aku sekarang ini sedang tidak punya uang juga.. Uang sih ada, tapi itu uang Dana Rutin yang harus aku serahkan ke kas RW hari minggu nanti. Mending iya Bapak bayar hari Sabtu, kalau tidak bayar, dari mana aku harus menggantinya?” pikir sang Anak.
“Maaf pak, bukan saya tidak mau membantu, tapi saya benar-benar tidak punya uang sekarang.” Akhirnya kata itu terucap dari bibir sang Anak.
“Apa kamu tidak bisa mengusahakannya? Mungkin kamu bisa minta pinjam dulu kepada siapa saja teman kamu. Bapak janji, pasti Bapak Bayar hari Sabtu.” Bapaknya mendesak.
“Maaf pak, tidak bisa. Sebaiknya Bapak berterus terang saja kepada majikan Bapak” Jawab sang anak dengan suara sedikit meninggi.
“Ya sudah kalau kamu memang tidak bisa membantu, Bapak pulang dulu” Si Bapak pergi dengan membawa kekecewaan. Mungkin dipikirannya tergambar dia akan kena marah majikannya karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Sore itu, hari Jum’at sehari setelah kedatangan Bapaknya.
“Ayah, anak kita demam dan panasnya makin meninggi” kata istrinya
“Sudah mamah kasih obat penurun panas belum?”Tanya sang Suami.
“Sudah.. tapi nggak turun-turun”
“Mamah kompres aja, nanti juga turun panasnya.
“Ayah…lihat kenapa anak kita!” tiba-tiba si istri menjerit dan menangis.
Ternyata anaknya yang belum genap berusia dua tahun itu mengalami stuip. Panasnya meninggi, napasnya tersengal-sengal, matanya melotot dan giginya yang baru tumbuh beberapa menggeretak.
Sang Ayah berusaha mengkompres Badan si Anak. Dengan paniknya dia mengangkat dan menggendongnya. Ketakutan mencekam jiwanya. Terbayang peristiwa beberapa tahun yang silam ketika adiknya yang paling kecil terkena stuip dan meninggal di pangkuan ibunya. “Astaghfirulloh, Ya Allah jangan cabut nyawa anakku! “ batinnya menjerit.
“Kita bawa ke dokter yah!” kata istrinya.
Sang Ayah bingung. Dia tidak punya uang. Yang ada hanya uang Dana Rutin yang belum disetorkan ke RW.
“Saya pakai saja, toh nanti Pak RW bisa memaklumi” pikir sang Ayah. Dengan sigap diambilnya uang Dana Rutin dari kas RT dan segera berlari membawa anaknya ke klinik.
“Maaf pak, Bapak harus beli obatnya ke apotik di sini sudah habis” Kata dokter begitu selesai memeriksa anaknya yang masih terus kejang-kejang.
Tanpa pikir panjang sang Ayah naik angkot. Dua sampai tiga apotek telah ia datangi tapi obat yang diperlukan tidak tersedia. Akhirnya ia berhasil mendapatkan obatnya dari Apotek yang ada di sebuah rumah sakit. Harganya Rp. 50.000,- dan ia bayar dari uang Dana Rutin yang ia pinjam.
“Anak Bapak tidak apa-apa kok. Ia Cuma menggigil kedinginan terlalu banyak di kompres” kata dokter begitu ia tiba di klinik tempat anaknya diperiksa tadi. “Dia sudah pulang”
“Alhamdulillah, panasnya sudah menurun dan dia sedang tidur lelap” kata istrinya begitu ia sampai di rumah. Subhanalloh, sampai sekarang atau tepatnya lima tahun sejak peristiwa itu, Anak tersebut tidak pernah terserang stuip dan obat yang dibeli dari Dana Rutin itu masih tersimpan tidak terpakai.
“Mah, sebenarnya ini dosa Ayah. Kemarin Bapak mau pinjam uang karena ada keperluan yang sangat mendesak tidak Ayah penuhi, padahal ada uang Dana Rutin yang baru akan disetor beberapa hari lagi. Tapi demi anak, ayah tidak memikirkan apakah uang Dana Rutin itu bisa ayah ganti atau tidak, ayah nekad meminjamnya. Ini seolah peringatan dari Allah. Mengingatkan Ayah akan kasih sayang dan cinta Bapak kepada Ayah tidak jauh beda dengan kasih sayang Ayah kepada anak kita.” Bisiknya kepada istrinya sambil menatap anaknya yang tertidur pulas.

(Mengenang Bapakku yang telah tiada. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Maghfirah-Nya atas segala kebajikan yang telah dicurahkannya kepadaku)

SMS DARI TEMANKU EDI

22 Maret 2010 jam 22.06 saat saya tertidur lelap. Sebuah pesan singkat (SMS) dari temanku masuk dan baru aku ketahui pada pagi harinya. Sayang sekali, seandainya terbaca di tengah malam, tentu perenungan makna pesannya akan terasa lebih dalam. Pesannya:
Sukses = MENCAPAI KEINGINAN
Bahagia = MENIKMATI keinginanyang telah tercapai
Kaya = BERBAGI kenikmatan kepada orang lain.
Sudahkah Anda Sukses, Bahagia dan Kaya?
Jawabku: Terima kasih kawan. Alhamdulillah beberapa keinginan telah tercapai dan telah dapat kunikmati dengan rasa syukur. Berbagi dengan orang lain, mungkin masih terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat dan tetangga terdekat. Semoga dapat ditingkatkan.

HAKIKAT KEKAYAAN

Hakikat kekayaan bukan terletak pada seberapa banyak materi yang kita "akui" milik kita. Kekayaan yang hakiki terletak pada seberapa besar kita dapat mensyukuri segala apa yang kita miliki.
Suatu ketika saya sempat bercakap dengan seorang Pengusaha yang saya nilai cukup berhasil. Segala fasilitas telah beliau miliki. Dalam kesempatan itu saya sampaikan betapa bahagianya menjadi seorang pengusaha yang telah berhasil. Dengan tawanya yang khas terlontar ucapan yang membuat saya terkesima. "Jangan mengukur kebahagiaan itu dari kekayaan materi atau kesuksesan yang diraih. Kebahagiaan itu bisa dimiliki oleh siapa saja yang mau mensyukuri apa yang telah dimilikinya. Ketika saya melihat orang-orang yang lebih sukses (beliau menyebutkan beberapa nama) dari saya, saya merasa kecil dan belum apa-apa. Tetapi ketika saya melihat mereka yang kondisinya di bawah saya, saya merasa besar dan bahagia karena kesuksesan yang telah diraih." timpalnya. Kata-kata itu begitu berbobot dan bertenaga karena terucap dari lisan orang yang selama ini saya kagumi.
Bandung, 24 Maret 2010